Sejarah Betoyoguci
SEJARAH ASAL USUL DESA BETOYOGUCI
I.
Asal Usul Desa Betoyo Manyar Gresik
Kyai Darmo Pipiyudo adalah pendatang yang
pertama masuk ke daerah sebelah barat Manyar. Daerah itu belum dihuni banyak
penduduk. Hanya ada beberapa rumah di daerah itu. Daerah itu dikelilingi
rawa-rawa sehingga bila dilihat dari luar daerah itu seperti hamparan rawa yang
luas yang ditumbui rerumpuutan dan ilalang yang menjulang. Orang tidak
menyangka kalau di tengah-tengahnya terdapat pemukiman penduduk
Kyai Darmo
Pipiyudo berasal dari negari seberang. Ia berasal dari kota suci Mekah. Ia
meninggalkan negaranya dan mengembara demi menyebarkan agama Islam. Dalam
pengembaraannya itu ia sampai di daerah itu dan merasa nyaman tinggal di tempat
itu.
.Kyai Darmo
Pipiyudo dituakan dan ditokohkan di daerah itu karena ia satu-satunya pendatang
pertama dan yang paling tua umurnya di anatara pendatang lainnya. Ia sangat
disegani dan dihormati oleh penduduk setempat. Apapun yang dikatakannya
penduduk setempat selalu mematuhinya.
“Daerah ini
tidak waris kalau dipimpin oleh penduduk asli. Bila yang memimpin daerah
ini berasal dari penduduk asli maka pemimpin itu tidak akan lama. Ia tidak akan
berumur panjang” kata Kyai Darmo Pipiyudo suatu ketika kepada penduduk
setempat. Ucapan itu benar-benar dipegang teguh oleh penduduk setempat.
“Meskipun pemimpin itu pintar tapi ia tidak akan kuat memimpin daerahnya
sendiri. Daerah ini yang cocok dipimpin oleh penduduk pendatang meskipun ia
tidak begitu pintar tapi akan kuat memimpin daerah ini” tambahnya.
Suatu ketika
daerah itu dipimpin oleh penduduk asli. Ia tidak lama memimpin daerah itu.
Tidak lama memimpin daerah itu ia meninggal dunia Peristiwa ini memperkuat
keyakinan penduduk terhadap ucapan Kyai Darmo.
“Abah saya
mohon izin untuk memimpin daerah ini” kata Laras Mudin kepada abahnya.
“Menurut
Abah, kamu ini kurang tepat kalau memimpin daerah ini” kata Kyai Darmo.
“Mengapa
demikian, Abah?”tanya Laras Mudin.
“Menjadi
seorang pemimpin itu harus seorang berhati segoro karena pemimpin itu
akan berhadapan dengan berbagai macam penduduk yang mempunyai watak yang
berbeda-beda. Sifat ini yang belum kamu miliki anakku.”jelas Kyai Darmo.
“Berarti
Abah tidak memberi izin saya untuk memimpin daerah ini?”tambah Laras Mudin.
“Bukan
begitu, anakku. Abah hanya memberikan pertimbangan kepadamu supaya kamu
pikirkan matang-matang sebelum kamu teruskan niatmu itu. Keputusan itu ada
padamu karena kamu sudah dewasa. Sebagai orang tua Abah hanya memberikan
nasihat kepadamu.” kata Kyai Darmo.
Laras Mudin atau yang lebih dikenal penduduk dengan
panggilan Mbah Mudin akhirnya mengurungkan niatnya untuk menjadi pemimpin di
daerahnya. Ia sudah memikirkan masak-masak dan sudah mempertimbangkan baik-buruknya.
Ia membenarkan ucapan abahnya kalau wataknya kurang cocok sebagi seorang
pemimpin. Ia merasa kalau dirinya keras dan kaku. Watak itu memang kurang
sesuai dengan watak seorang pemimpin. Ia tidak mempunyai hati samudra
sebagaimana yang disyaratkan Abahnya. Ia manyadari bahwa masyarakat akan
melawan kalau dipimpin dengan menggunakan kekerasan dan tangan besi.
Suatu hari
Kyai Darmo kedatangan seorang tamu.
“Assalamu
alaikum” sapa tamu itu..
“Waalaikum salam
warahmatullah wabarokatuh” jawab Kyai Darmo.
“Kisanak ini
siapa dan dari mana?” tanya Kyai Darmo.
“Maaf, Kyai.
Saya Jakfar dari Tuban” Jawab Sayid Jakfar.
“Ada
keperluan apa Kisanak datang ke gubuk kami?” tanya Kyai Darmo kepada tamunya
dengan nada rendah.
“Saya ke
sini ingin menimbah ilmu kepada Kyai. Saya sudah mendengar banyak tentang Kyai.
Ketinggian ilmu Kyai sudah kondang sampai di daerah kami. Oleh karena itu, saya
jauh-jauh datang ke sini untuk berguru kepada Kyai”tutur Sayid Jakfar.
“Saya tidak
mempunyai ilmu apa-apa. Semua ilmu itu milik Allah subhanallahu wa ta ala. Saya
hanya ditipipi setetes ilmu-Nya saja. Hanya orang-orang yang terlalu
membesar-besarkan” jawab Kyai merendah.
“Saya tidak
salah memilih Kyai sebagai guru saya karena orang berilmu tinggi namun rendah
hati” ujar Sayid Jakfar.
Sayid Jakfar
diterima Kyai Darmo sebagai murid. Ia diajari ilmu yang diingini. Ia sangat
senang mempelajari ilmu yang diberikan gurunya karena itu sudah menjadi
tekadnya. Ia ditugasi gurunya melakukan tapa demi kesempurnaan ilmu yang
dipelajarinya. Ia melakukan tapa sesuai dengan petunjuk gurunya hingga sempurna
tapanya. Usai melaksakan tapanya ia ditugasi Kyai Darmo memimpin daerah itu.
Sebagai seorang murid yang taat, ia menurut perintah gurunya. Ia menjadi
pemimpin di daerah itu. Namun, ia tidak lama menjadi pemimpin daerah itu. Ia
meninggal dunia. Hal ini juga berulang pada murid Kyai Darmo yang bernama Sayid
Abdur Rahman. Ia juga bernasib sama dengan Sayid Jakfar meninggal dunia tidak
lama setelah memimpin daerah itu. Hal serupa juga dialami murid ketiga Kyai
Darmo.
Daerah itu
tidak ada yang memimpin karena pemimpinnya meninggal dunia. Atas saran Kyai
Darmo selaku orang yang dituakan di daerah itu akan diadakan pemilihan pemimpin
yang baru. Wara-wara dikumandangkan di mana-mana bahwa akan diadakan pemilihan
pemimpin daerah itu. Semua penduduk boleh mencalonkan diri, baik penduduk asli
maupun penduduk pendatang dari daerah lain.
Setelah lama
diumumkan kepada penduduk, ada dua orang yang mencalonkan diri sebagai calon
pemimpin daerah itu. Mereka kakak beradik, Sayid Noroyudo dan adiknya yang
bernama Sayid Simoyudo.
Penduduk
daerah itu mengadakan pemilihan calon pemimpinnya Mereka
berbondong-bondong menuju ke tempat pemilihan. Mereka antri mendapat giliran.
Mereka memilih calonnya dengan memasukkan biting ke dalam bumbung yang
telah disediakan untuk masing-masing calon. Setiap penduduk yang telah memiliki
hak pilih mendapatkan satu biting.
Setelah
penduduk yang mempunyai hak pilih itu melakukan pemilihan dan batas waktu
pemilihan yang ditentukan sudah dilalui. Panitia pemilihan mengadakan
penghitungan biting yang dimasukkan ke dalam masing-masing calin pemimpin.
Dalam
pemilihan itu Sayid Simoyuda memenangi pemilihan itu mengalahkan kakaknya,
Sayid Noroyudo. Sayid Simoyudo dikukuhkan sebagai pemimpin baru di daerah itu
menggantikan pemimpin yang telah meninggal dunia.
Sayid Noroyudo merasa malu karena dikalahkan adiknya
dalam pemilihan itu, ia memilih pindah meninggalkan daerah itu. Ia pindah ke barat ke daerah Pentol. Di daerah barunya itu ia menjadi tokoh
yang disegani karena ilmunya. Di daerah ini ia mendidirkan tempat ketangkasan
ilmu yang berada di tengah-tengah desa. Dengan adanya tempat adu ketangkasan
ilmu itu sering terjadi keributan dan pertengkaran antara warga desa Pentol dan
desa Tanggul rejo. Agar tidak sering terjadi keributan di desa Pentol itu pada
saat adu ketangkasan maka desa Pentol diganti nama menjadi desa Sumberrejo
Penggantian nama itu diharapkan dapat memberikan suasana baru.
Suatu hari
Sunan Giri Gresik pulang dari pengembaraan dan sampai di daerah
Pedurungan. Ia dikuti santrinya. Di daerah itu santrinya kehausan. Mereka tidak
menemukan air tawar yang dapat diminum. Santri-santrinya diutus mencari air di
sekitar daerah itu namun tidak menemukan. Di daerah itu airnya asin semua sehingga
tidak bisa diminum. Melihat santrinya sudak tidak kuat lagi menahan rasa
laparnya, Sunan Giri menancapkan tongkatnya ke tanah. Bekas tancapan tongkat
itu mengeluarkan sumber air tawar. Para santrinya sangat senang melihat air
tawar itu. Mereka segera mengambil air dan meminumnya untuk menghilangkan rasa
dahaganya. Sumber air itu menjadi sebuah sumur dan berada di tengah-tengan
pasar Pedurungan.
Setelah puas
mengisi perutnya dengan air tawar dan jernih itu, rombongan Sunan Giri
meneruskan perjalanan menuju ke selatan sampai di daerah Tambak Brekat. Terik
matahari menguras air yang ditampung di perut mereka. Sengatan matahari itu
menyebabkan kerongkongan mereka kering kerontang lagi. Mereka merasa haus.
Mereka mencari sumber air tawar di daerah itu tidak menemukan. Mereka menghadap
kepada Sunan Giri kalau di tempat itu tidak ditemukan sumber air tawar yang
bisa diminum padahal rasa haus mereka sudah tidak bisa ditahan lagi. Sunan Giri
mengangkat tongkat yang dipegang di tangan kanannya Tongkat itu ditancapkan ke
tanah. Tongkat itu masuk ke tanah dengan mudahnya Tanah itu menjadi berlubang
dan lubangnya semakin membesar membentuk sumur. Sumur itu mengeluarkan air
tawar yang jernih. Santri Sunan Giri segera mengambil air dan minum
sepuas-puasnya.
Rombongan
itu meneruskan perjalanan ke arah timur setelah beristirahat beberapa saat di
daerah Tambak Brekat. Mereka berjalan kaki menyusuri jalan itu dibawa panasnya
matahari yang membakar kulit. Rombongan itu sudah jauh meninggalkan daerah
Tambak Brekat. Di tengah perjalanan salah seorang santrinya menderita sakit. Ia
mengalami kecapekan selama dalam perjalanan. Santri yang sakit itu minta minum
karena kehausan. Sunan Giri menyuruh santrinya untuk mencari air di sekitar
daerah itu. Mereka tidak menemukan sumber air tawar di sekitar daerah itu.
Sunan Giri menggunakan tongkatnya untuk membuat sumber air sebagaimana yang
dilakukan saat di Pedurungan dan Tambak Brekat. Diangkatnya tongkat di tangan
kanannya itu dan ditancapkan ke tanah. Setelah tongkat itu dicabut tak setetespun
air yang keluar dari bekas tancapan tongkat itu. Santri yang memperhatikan dan
menunggu keajaiban sebagaimana yang mereka alami sebelumnya tidak terjadi.
Mereka merasa keheran-heranan. Sunan Giri menancapkan tongkatnya lagi ke tanah
untuk kali kedua namun air tak kunjung keluar dari tanah tersebut. Mereka
merasa lebih heran lagi mengapa tidak seperti sebelumnya hanya dengan sekali
tancap langsung keluar sumber airnya denga deras. Mereka tidak berani bertanya
kepada gurunya. Sunan Giri mengilanginya sampai ketiga, keempat, kelima,
keenam, ketujuh, kedepalan, dan kesembilan. Hasilnya nihil tidak ada sumber air
yang keluar dari tanah bekas tancapan itu.
“Santri-santriku,
rupanya Allah menguji kesabaran kita” kata Sunan Giri.”Kita harus tabah
terhadap ujian yang diberikan Allah kepada kita” tambahnya. Para santrinya yang
mendengar tidak menjawab sepatah kata pun hanya menganggukkan kepala.
“Pergilah
kamu mengabil air tawar untuk temanmu yang sakit ini di tempat yang ada sumber
air tawarnya itu” kata Sunan Giri sambil menunjuk daerah yang baru saja
ditinggalkannya.
“Dengan apa
saya harus membawa air itu Kanjeng Sunan?”tanya santri yang ditunjuk itu. Sunan
Giri belum sempat menjawab pertanyaannya santri itu terburu-buru pergi
meninggalkan tempat itu. Sunan Giri merawat santrinya yang sakit. Santri itu
dibaringkan di bawah bawah yang rindang agar tidak semakin haus terkena
sengatan sinar matahari. Santri lainnya memijat-mijat kaki dan tangan temannya
yang sakit.
“Haus…haus…haus”
ujarnya pelan.
“Sabar sobat
sebentar lagi teman kita datang membawa air” ujar temannya.
Sementara
itu santri yang ditugasi mengambil air itu terus berjalan cepat agar sampai di
tempat yang dituju sambil memikirkan wadah untuk membawa air. Di tengah
perjalanan ia melihat sebuah buah kelapa muda yang baru saja terjatuh dari
pohonnya. Pikirannya pecah. Ia mengambil buah kelapa itu. Buah itu dilemparkan
ke tanah keras-keras sehingga pecah dan terbelah menjadi dua. Ia bergegas-gegas
menuju sumur yang dibuat Sunan Giri dengan tongkatnya itu. Pecahan buah kelapa
itu digunakan untuk mengambil air di sumur. Kini kedua tangannya membawa
pecahan buah kelapa yang telah terisi dengan air. Ia tidak bisa berjalan cepat
lagi sebagaimana pada saat pergi. Ia tidak ingin air yang dibawanya tumpah. Ia
tidak ingin sia-sia pulang balik dengan tidak membawa air. Kasihan temannya
yang menunggunya.Ia berjalan dengan hati-hati. Panas matahari tidak
dihiraukannya.
Sunan Giri
memandangi ke jalanan melihat santri yang diutusnya. Ia senang sekali melihat
santrinya sudah nampak menuju ke arahnya. Santri itu berjalan semakin mendekati
Sunan Giri.
“Kowe ini
nggowo opo?” tanya Sunan Giri kepada santrinya yang datang dengan kedua
tangannya membawa belahan buah kelapa.
“Beto
toyo, Kanjeng Sunan” jawabnya singkat sambil menyodorkan kedua
tangannya. Atas peristiwa itu daerah itu dinamai Betoyo
Sunan Giri
mengambil belahan buah kelapa yang berisi air itu dan diminumkan kepada
santrinya yang sakit dan mengaduh kehausan. Santri meminum air itu. Air itu
membawasi tenggorokannya yang kering. Rasanya seperti minum air bercampur es.
“Alhamdulillah,
terima kasih sobat kamu telah bersusah payah mengambil air untukku” katanya
pelan.
“Maafkan
segala kesalahanku. Rasa-rasanya umurku sudah tidak akan lama lagi. Asyhadu an
la ilaha illallah waasyhadu anna Muhammadar rasulullah” ujar santri itu setelah
minum air itu.
“Inna
lillahi wa inna ilaihi rajiun” terdengar dari Sunan Giri dan santrinya.
Santri itu
meninggal dunia di tempat itu yang kini bernama Betoyo. Sunan Guru dan
santrinya dibantu penduduk setempat merawat jenazahnya, mulai dari memandikan,
mengkafani, mensalati, hingga menguburtkan. Santri itu dimakamkan di Betoyo.
Pemakaman tempat santri itu dikuburkan dinamakan makam Sawo. Pada saat itu Kyai
Darmo Pipiyudo sudah meninggal dunia. Ia disemayamkan di makam yang berada di
tengah-tengah desa. Penduduk desa menyebut makam Kyai Darmo Pipiyudo itu dengan
sebutan Makam Buyut Deso. Makam Kyai Darmo Pipiyudo banyak diziarahi peziarah
terutama pada malam-malam ganjil sepuluh hari akhir bulan Ramadan.
Berasal dari sumber lain beberapa warga yang
merantau,baik orang dewasa maupun pemuda/i yang berasal dari suatu daerah yang
berpenghasilan dari lahan tambak.Pasti mengenal seluk beluk yang ada di
daerahnya,diantaranya Desa betoyo. Dinamakan betoyo kemungkinan besar di
karenakan daerah ini susah dengan kebutuhan air untuk konsumsi. Baik cuci
pakaian, masak, mandi dll. Meskipun di tambak banyak air tapi rasa airnya asin
dan payau. Jika mencari air harus ke desa tetangga sebelah dan kata betoyo
sendiri masih belum terkuak.
Konon kata orang tua, warga betoyo kalau ambil air ke
desa lain yaitu banyuwangi. Karena setiap ambil air selalu membawa guci, maka
jadilah betoyo guci dan dusun lain yang di wilayah betoyo juga ada. Karena
betoyoguci jaraknya dekat dengan mata air, maka dapat air duluan dan dusun
sebelah tidak kebagian. Jadi dusun sebelah namanya betoyo kauman yang artinya
membawa air tapi tidak cukup atau kurang (ka-uman : gak uman/tidak kebagian).
versi lain betoyo artinya mbeto tuyo (membawa air), asalnya membawa air dari banyutami. Sedangkan nama kauman konon warganya mendakatkan diri pada Allah SWT dgn bersholawat, ngaji dsb. Sehingga di juluki "kaum beriman" jadi betoyo kauman.
versi lain betoyo artinya mbeto tuyo (membawa air), asalnya membawa air dari banyutami. Sedangkan nama kauman konon warganya mendakatkan diri pada Allah SWT dgn bersholawat, ngaji dsb. Sehingga di juluki "kaum beriman" jadi betoyo kauman.
Sedangkan
Guci merupakan nama seorang sunan atau pemimpin/ustadz/kiai yang ada di betoyo
dan jadilah betoyo guci. Makamnya GUCI masih menjadi fenomena yang masih belum
terkuak, ada yang tau dimana?....
itulah sekedar cerita 2 desa di BETOYO. kebenaran dari cerita tersebut masih menerka nerka, jadi boleh usul gak boleh asal.....
itulah sekedar cerita 2 desa di BETOYO. kebenaran dari cerita tersebut masih menerka nerka, jadi boleh usul gak boleh asal.....
Komentar
Posting Komentar